COVID-19 dan Memaknai Kematian

Taken from unsplash.com

Seorang teman baru saja mengirimi  artikel tentang cara agar 'berumur panjang'. Hidup lama-lama buat apa sih, kata saya membalas kiriman artikel tersebut. Karena bagi saya olah raga & upaya menjaga kesehatan lainnya saya lakukan agar tidak merepotkan orang lain ketika saya tiba-tiba sakit; lah kalau saya menua, katakanlah umur saya lebih dari 100 tahun misalnya, bukankah saya justru akan merepotkan orang lain yang harus mengurus saya dan pura-pura peduli pada kerewelan saya nantinya.

Pembicaraan tentang kematian yang tadinya hanya diperbincangkan secara malu-malu dan sembunyi-sembunyi saat ini serasa makin mengemuka ke permukaan. Dimana-mana orang tekut akan datangnya kematian. Kematian tersebut seakan menghantui siapa saja, tidak pandang dia sudah berusia lanjut ataupun masih di usia yang sangat produktif. Ketakutan akan kematian tersebut berasal dari sebuah virus yang disepakati seluruh dunia disebut Coronavirus Disease 2019 (atau COVID-19). Hantu tersebut tidak kasat mata dan bisa saja saat ini sebenarnya sudah ada di dalam diri kita tanpa kita sadari; beruntung saja imunitas kita saat ini masih dalam kondisi yang baik... ya, kita tidak pernah tahu.

Perbincangan tentang kematian yang tadinya malu-malu kita tutupi dengan kesibukan-kesibukan seperti bekerja, memikirkan tagihan KPR, mengejar tenggat waktu pekerjaan, menonton film, menghabiskan serial TV, dan sebagainya; sekarang ancaman kematian tersebut memadati pikiran hampir semua orang. Ya, mungkin saja ada yang pura-pura tidak peduli tapi toh anda pada akhirnya mendengar juga akan ancaman nyata tersebut. Sampai dengan saya menulis ini, di Indonesia sendiri sudah 2273 orang terkonfirmasi positif dengan 198 orang meninggal atau 8,71% tingkat kematiannya. (sumber: https://kawalcovid19.id)

Lalu pertanyaannya, setelah semua ini berakhir mungkinkah kita dapat mengambil hal baik dengan harapan virus minimal mengubah sudut pandang kita terhadap hidup dan kematian?

Kita semua selalu sibuk, lelah, terlalu banyak hal yang kita lakukan. Kadang-kadang kita bermimpi dan kejar-kejaran untuk menggapainya sampai kadang kita sadar mimpi tersebut terlalu tinggi untuk diraih dan akhirnya kita menjalani hidup yang ada di depan kita. Kita bekerja, membayar cicilan, menonton serial tv, mengurus anak, bercinta, dan melakukan banyak hal lainnya untuk mengisi hidup kita. 

Taken from unsplash.com

Sampai tiba suatu kondisi kita dipaksa tidak melakukan apa-apa, anda disuruh menutup rapat-rapat mulut anda dengan masker yang menyesakkan tersebut, anda dilarang berinteraksi secara langsung dengan orang, anda disuruh bekerja dan belajar di rumah, anda dilarang beribadah yang mengharuskan anda berkumpul di satu tempat; semua itu anda harus lakukan dengan upaya untuk mencegah virus ini merasuki tubuh anda dan lebih jauh dari itu untuk mencegah kematian. 

Kematian adalah satu hal yang paling pasti dari kehidupan. Banyak filsuf sudah membahas tentang kematian, bahkan ada kecenderungan bahwa para filsuf ini terobsesi dengan kematian, khususnya Marcus Aurelius dan Seneca. Seneca bahkan pernah mengatakan salah satu latihan paling mudah untuk menikmati hidup adalah dengan mengingat kematian; dia mengatakan bahwa seseorang yang mengakhiri setiap hari seolah-olah itu adalah akhir dari kehidupan mereka, yang merenungkan kematian mereka di malam hari, memiliki kekuatan super ketika mereka bangun.

Johnny Cash, seorang musisi yang selalu membawakan lagu bertema mengerikan dan tidak jarang bertema tentang kematian, pembunuhan, atau kesedihan dalam sebuah wawancara pernah berkata bahwa "Aku tidak terobsesi dengan kematian. Aku terobsesi dengan hidup. Pada tahun '88, ketika aku menjalani operasi bypass, aku hampir mendekati kematian. Para dokter mengatakan mereka kehilangan saya. Saya pergi, dan ada cahaya indah yang saya alami. Itu mengagumkan, tak terlukiskan - keindahan dan kedamaian, cinta dan sukacita - dan tiba-tiba, saya terbangun, hidup, semua kesakitan itu nyata dan saya terjaga. Saya sangat kecewa. Tetapi ketika saya menyadari satu atau dua hari kemudian, saya mulai berterima kasih kepada Tuhan untuk hidup dan hanya memikirkan hidup."

Taken from unsplash.com

Ancaman kematian akibat COVID-19 adalah sebuah lonceng pengingat bagi kita semua. Bahwa manusia sering beranggapan berada di 3 konsep waktu yang berbeda; masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Padahal konsep itu sebenarnya tidak masuk akal, karena waktu itu sendiri selalu mengalir, kita tidak pernah memiliki masa lalu ataupun masa depan. Manusia sering melupakan mati dengan menyibukkan dirinya sendiri dan membuat simbol-simbol pencapaian dalam hidupnya, barulah ketika ancaman kematian tiba dan semakin nyata semua itu menjadi tidak ada artinya lagi. Kefanaan lah yang pada akhirnya membuat kita dapat mensyukuri dan selalu berdamai dengan kondisi saat ini sambil mempersiapkan diri kita untuk hal yang tidak terhindarkan nantinya.

Comments