(Movie Review) Coco, Family Comes First!

Rating: PG Directors: Lee Unkrich | Writers: Lee Unkrich | Runtime: 109 Minutes
[May Contain Spoilers]

Lee Unkrich adalah nama yang tidak asing lagi di dunia film, apalagi jika dihubungkan dengan Pixar Animation Studios. Unkrich pernah ditunjuk sebagai co-director di film Toy Story 2, Monsters Inc., dan Finding Nemo, lalu tentu saja yang paling membekas adalah sebagai sutradara utama Toy Story 3. Sedikit flashback ke belakang, sejak tahun 2006 Disney telah mengakuisisi Pixar sehingga tentu saja beberapa film yang kita tonton ada yang hanya berlogo Disney saja dan ada juga yang berlogo Disney•Pixar. Artinya, kalo saya spesifik menyebutkan Pixar itu artinya film yang berlogo Disney•Pixar, bukan yang berlogo Disney saja. Well, kembali lagi... Jika selama ini film Pixar berpusat di kawasan Eropa dan Amerika, kali ini Pixar mencoba mengeksplorasi keindahan warna dan budaya yang ada di Meksiko. Mampukah Lee Unkrich dan Pixar Studios mengacak-acak emosi kita lewat film tebarunya ini?

Miguel (Anthony Gonzalez) adalah seorang bocah laki-laki berusia 12 tahun yang tinggal di sebuah desa di Meksiko. Meskipun sang bocah awalnya lahir dari keluarga pemusik, namun generasi selanjutnya keluarga bocah ini adalah keluarga yang membenci musik, karena mereka percaya bahwa keluarga mereka telah dikutuk oleh musik selamanya. Sebabnya tidak lain adalah karena nenek buyut sang bocah ini ditinggal pergi oleh kakek buyutnya untuk berkelana demi musik. Namun secara diam-diam Miguel memiliki ambisi akan musik dengan cita-citanya yang ingin menjadi seorang musisi ternama seperti sang idolanya, Ernesto de la Cruz (Benjamin Bratt) yang telah lama meninggal. 

Image: Disney•Pixar
Miguel sangat yakin akan bakat yang dimilikinya, namun dia masih tidak tahu harus bagaimana untuk mewujudkan ambisinya tersebut menjadi seorang pemusik hebat karena halangan begitu berat datang dari keluarga yang tidak pernah mendukung cita-citanya tersebut. Dengan keyakinan tinggi, sang bocah berpartisipasi di sebuah lomba bakat yang diadakan di The Plaza, bertepatan dengan Dia de Muertos (Hari Orang Mati) di Meksiko sana yaitu hari di mana semua orang berkumpul dimakam untuk bertemu sanak keluarganya yang telah lama meninggal, atau bisa dibayangkan seperti perayaan khusus untuk melakukan ziarah makam. Niat saja tidaklah cukup untuk mewujudkan sebuah cita-cita, sang bocah membutuhkan gitar untuk dapat menunjukkan kemampuannya di depan penonton. Gitar satu-satunya yang bocah ini miliki telah dirusak seorang anggota keluarga yang mati-matian melarangnya bersentuhan dengan hal berbau musik. Lalu bagaimana cara sang bocah untuk dapat mewujudkan mimpinya? Hal ini akan disampaikan dengan sangat jelas oleh Pixar Studios dalam durasi 109 Menitnya.

Image: Disney•Pixar
Pixar Animation selalu membuat film animasi yang indah dengan gambar berwarna-warni dan menyenangkan untuk dilihat. Jalan cerita yang penuh kejutan dan sulit untuk ditebak, dan tentu saja karakter yang memorable. That's it, that's Pixar! Begitupun dengan film Coco. Film ini bukanlah film yang tumbuh bersama penontonnya seperti layaknya Toy Story, anda tinggal duduk dan nikmati saja setiap momen yang ditampilkan oleh Pixar lewat film ini, maka dijamin anda akan mampu merasakan apa yang tiap karakter dalam film ini rasakan.. begitulah film Coco ini dibuat, anda disuruh bersenang-senang dan kemudian pada saat-saat tertentu Pixar akan memainkan emosi anda. Coco adalah film dengan plot cerita yang generik namun tetap saja apik karena dieksekusi dengan sangat baik. Saya sungguh kagum dengan bagaimana Pixar memperhatikan setiap detail kecil seperti remasan jari pada gitar dan bunyi nada yang dipetik semuanya tepat dan tidak dibuat secara asal-asalan.

Image: Disney•Pixar
Film mulai beralih tempo saat tokoh utama kita memasuki dunia orang mati, di situ Miguel bertemu dengan keluarganya yang lain yang sudah mati dan harus mendapatkan restu dari mereka untuk bisa kembali ke rumah. Dalam petualangannya di Dunia Orang Mati, ia bertemu dengan Dante si anjing dan Hector (Gael Garcia Bernhal) yang dapat membantu pencarian Miguel namun dengan syarat tertentu. Coco bukanlah film musikal sebagaimana saya bayangkan sebelumnya. Entahlah mungkin Pixar mencoba film ini sedikit menjadi film musikal. Biarpun banyak menggunakan musik di dalam penceritaannya, Coco tidak banyak memiliki track yang akan terus terkenang. Bukan berarti jelek, tetap saja bagi saya lagu Remember Me memainkan tugasnya dengan sangat baik.

Saya masih ingat dulu saat menonton Toy Story 3, di mana pada 15 menit menjelang film usai emosi saya diaduk-aduk selayaknya sedang naik rollercoaster dan dimuntahkan begitu saja saat mencapai akhir film. Bagaimana saat itu scene yang disajikan di akhir ini sangat mengharukan, dan didukung dengan musik score yang luar biasa pas. Saya tidak bisa bohong dengan mengatakan saya tidak menangis terharu menyaksikannya. Seperti saya bilang sebelumya, film ini bukanlah sebuah film yang tumbuh bersama penontonnya selayaknya film Toy Story (1995, 1999, 2010). Jadi mungkin emosi yang didapatkan tidak akan sama dan tidak fair untuk dilakukan perbandingan. Tetap saja, Coco adalah sebuah animasi yang hadir dari Pixar Studios yang terkenal dengan menghadirkan contemplative comedy yang mana dari setiap tawa dan kesenangan yang dihadirkan, selalu membuat kita merenung dan memikirkan secara mendalam makna di balik semua kesenangan itu. 


Satu hal yang menurut saya sangat baik dilakukan Pixar adalah bagaimana mereka berhasil menunjukkan kekuatan musik untuk seorang yang demensia. Hal ini dilakukan saat Miguel menyadarkan kembali ingatan Mama Coco sebuah lagu yang ditulis ayahnya untuknya dan sering bernyanyi saat dia masih kecil. Musik menghidupkan kembali ingatan Coco, dan dia dengan senang hati bernyanyi bersama Miguel. Dia mendapatkan kembali kemampuannya untuk berbicara dan mengenali putrinya, dan dia berbicara dengan ramah kepada keluarga besarnya tentang masa kecilnya. Setelah saya melakukan riset kecil-kecilan ternyata hal itu adalah benar dan diakui oleh banyak Profesor dari Universitas terkenal di dunia bahwa musik dapat membantu kembali untuk merangsang ingatan, jadi bukan sekedar karangan fiksi belaka.

Image: Disney•Pixar
So my verdict is... Coco bukanlah masterpiece dari Pixar. Coco memiliki jalan cerita yang generik namun tetap asyik diikuti. Kehadiran Coco di awal Bulan Desember ini adalah hal yang sangat tepat, gambar yang indah dan cerita yang menyentuh sangat pas disaksikan bersama orang terkasih. Jangan lupa peluk orang terdekatmu terus bilang, 'I may not always live forever, but when I'm not here anymore please remember me.'

Score: 9.5

Comments